Ihya al Mawat : Pengertian, Dasar Hukum, Tantangan dan Penerapan di Zaman Modern
Secara etimologis al-mawat berarti sesuatu yang tidak bernyawa, penggarapan secara produktif terhadap tanah yang tidak ada pemiliknya diserupakan hidup, dan menelantarkannya diserupakan mati. Hal ini karena tidak adanya manfaat yang didapat dari tanah itu, baik dengan menanaminya atau lainnya. Menghidupkannya berarti memakmurkannya.
Ada istilah untuk menyebut tanah yang terlantar yaitu al-mawat ardh al-baur, yaitu tanah yang
tidak dimakmurkan dengan tanaman.
Sedangkan secara terminologis ihya al-mawat adalah membuka tanah yang tidak bertuan dan belum pernah dikelola untuk dipersiapkan dan dijadikan sebagai tanah yang bermanfaat, untuk perumahan, lahan pertanian dan lain sebagainya.
Secara konseptual Ihya al-Mawat merupakan bagian dari hukum agraria Islam yang memberikan kesempatan kepada individu untuk menghidupkan tanah yang tidak dimiliki atau tidak dikelola oleh siapa pun, dengan syarat-syarat tertentu. Konsep ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi Muhammad SAW yang mendorong umat Islam untuk memanfaatkan lahan yang tidak produktif.
Dasar Hukum ihya al-mawat
ihya al-mawat disyariatkan berdasarkan beberapa hadist
rasulullah SAW yaitu, sebagai berikut:
- Dari said bin zaid dari Nabi SAW, beliau bersabda, “ Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Abu Daud, Nasa’I dan Tirmidzi)
- Dari Aisyah r.a., Rasulullah SAW beliau bersabda, “ Barang siapa yang memakmurkan tanah yang tidak ada pemiliknya, maka ia lebih berhak terhadapnya.” (HR. Bukhari)
- Ulama telah sepakat, bahwa tanah tidak bertuan (tanah yang belum pernah dimiliki oleh seorang pun dan tidak ditemukan tanda-tanda pengelolaannya) dapat dimiliki dengan cara mengelolanya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan dikalangan ulama yang berpendapat tentang bolehnya membuka tanah baru.
Dari Hadis diatas menunjukkan bahwa Islam memberikan hak kepemilikan
kepada siapa saja yang bersedia bekerja keras untuk menghidupkan dan
memanfaatkan tanah yang tidak produktif, asalkan tidak melanggar hak-hak orang
lain atau hukum yang berlaku.
Syarat-syarat ihya al-mawat
Adapun syarat-syarat ihya
al-mawat yaitu, sebagai berikut:
- Tanah yang terbuka masih terlantar dan belum dimiiki oleh seorangpun. Jika tidak dialokasikan untuk kepentingan kaum muslimin, seperti untuk jalan, lapangan, taman, kuburan, saluran air dan lain-lain.
- Cara pembukaan baru sesuai dengan tradisi yang berlaku karena hadist yang menjelaskan ihya al-mawat bersifat umum.
- Sayid sabiq menambah persyaratan lainnya, yaitu harus seizin hakim (Pemerintah)
Tata cara ihya al-mawat
Adapun tata cara ihya
al-mawat yaitu, sebagai berikut:
- Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang, yakni daerah yang kurang subur untuk ditanami. Maka tanah tersebut diberi pupuk, sehingga menjadi subur dan dapat ditanami.
- Menanam, cara ini dilakukan untuk daerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia.
- Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah SAW “ Barang siapa yang membuat pagar, maka tanah itu berarti miliknya.” (HR. Abu Daud)
- Menggali parit, yaitu membuat parit disekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang lain mengetahui bahwa tanah itu sudah ada yang menguasai sehingga menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.
Manfaat dan Hikmah Ihya al-Mawat
Pemanfaatan Sumber Daya yang Tidak Terpakai, Ihya al-Mawat mendorong pemanfaatan lahan yang tidak produktif, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyediakan lebih banyak lahan untuk pertanian, perumahan, atau kegiatan ekonomi lainnya.
Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi, Dengan menghidupkan tanah mati, masyarakat dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan hasil produksi, yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi lokal.
Perlindungan terhadap Eksploitasi Tanah, Ihya al-Mawat juga berfungsi sebagai mekanisme perlindungan terhadap eksploitasi tanah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hanya mereka yang bersedia menghidupkan dan memanfaatkan tanah dengan cara yang bermanfaat yang diberikan hak kepemilikan.
Pelestarian Lingkungan: Dengan dihidupkannya tanah mati, lingkungan yang sebelumnya gersang dan tidak terawat dapat menjadi subur dan produktif, yang pada gilirannya membantu pelestarian alam dan keanekaragaman hayati.
Tantangan dan Penerapan di Zaman Modern
Meskipun konsep ihya al-mawat memiliki banyak manfaat, penerapannya di zaman modern juga memiliki banyak tantangan. Salah satu tantangan utama adalah konflik antara hukum syariah dengan hukum agraria nasional yang mungkin berbeda dalam mengatur kepemilikan dan pemanfaatan tanah. Selain itu, izin dari otoritas pemerintah sering kali menjadi kendala, terutama di negara-negara dengan birokrasi yang kompleks seperti Indonesia.
Namun demikian, prinsip ihya al-mawat tetap relevan dan dapat diadaptasi dalam konteks modern, terutama dalam upaya mendorong masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan.
Harim Ma’mur
Harim Ma’mur adalah
sesuatu yang dilarang dikuasai oleh seseorang. Harim ini ada bermacam-macam yaitu:
- Harim kampung, yaitu lapangan, alun-alun tempat rekreasi, pacuan kuda, pasar, tanah lapang, tempat pemandian, dan lain-lain.
- Harim telaga, yaitu tempat (tanah yang dibuka/disuburkan) yang digali untuk kubangan ternak, seperti tempat pemandiannya/penembatannya, tempat pancurannya di tempat pembuangan air.
- Harim rumah, yaitu tempat pembuangan sampah
Kesimpulan
Ihya al-Mawat adalah salah satu konsep penting dalam hukum Islam yang mendorong pemanfaatan tanah yang tidak produktif untuk kesejahteraan umat. Dengan landasan yang kuat dalam hadist dan ijma', ihya al-mawat mengajarkan pentingnya kerja keras, inovasi, dan tanggung jawab sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Di era modern, meskipun menghadapi tantangan, prinsip ihya al-mawat tetap dapat diterapkan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan.
Reference
- Sayid sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar el-Fikr, 1983 M- 1403 H, Juz 3), hal. 194
- Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar., Loc,.cit.,hal. 405
- Hendi Suhendi, Loc.,cit.,hal. 271
Posting Komentar