Mengenal Akad Musaqah Dalam Islam
Dimasa sekarang praktik kerjasama
tersebut bisa kita jumpai di masyarakat yang bermukim di pedesaan, yang mana
mata pencaharian masyarakatnya banyak bersumber dari hasil sawah dan ladang. Dalam
praktik kerjasama ini antara shahibul-mal (Pemilik lahan) dan mudharib
(Pengelola) bersepakat untuk separoan
sawah/ladang, yang mana akadnya tidak dilakukan secara tertulis tetapi cukup
dengan lisan saja. Namun, tanpa bukti tertulis, kerja sama tersebut rentan
menimbulkan perselisihan, terutama jika terjadi perbedaan persepsi antara kedua
belah pihak.
Dalam kondisi seperti ini, Islam
sangat menganjurkan adanya akad tertulis sebagai bentuk perlindungan terhadap
hak-hak pihak yang berakad. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah
ayat 282 yang berbunyi: "Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Pengertian Musaqah
Menurut bahasa Al-musaqah adalah
bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah dimana si penggarap (Mudharib) hanya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan sebagai imbalan, dan si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Menurut Malikiyah, al-saqah ialah sesuatu yang tumbuh ditanah. Yaitu dibagi menjadi lima macam diantaranya:
- Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama,misalnya pohon anggur dan zaitun.
- Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah seperti pohon kayu keras, karet, dan jati.
- Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik.
- Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.
- Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam di halaman rumah dan di tempat lainnya.
Dengan demikian musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama antara pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua adalah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditentukan.
Dasar Hukum Musaqah
Didalam Qs. Al-Maidah (5) 2 Allah SWT berfirman:
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syiar-syiar (kesucian) Allah, jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qalā’id (hewan-hewan kurban
yang diberi tanda), dan jangan (pula mengganggu) para pengunjung Baitulharam
sedangkan mereka mencari karunia dan rida Tuhannya! Apabila kamu telah
bertahalul (menyelesaikan ihram), berburulah (jika mau). Janganlah sekali-kali
kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka).
Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.
b. Hadist
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan
kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian
mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari
hasil pertahun (palawija)”. (H.R Muslim)
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan
pada musaqah. Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh di musaqahkan hanya
kurma. Menurut Syafi’iyah yang boleh hanyalah kurma dan anggur saja, sedangkan
menurut Hanafiyah semua pohon yang mempunyai akar ke dasar bumi dapat
dimusaqahkan, seperti tebu.
Apalagi waktu lamanya musaqah tidak ditentukan ketika akad,
maka waktu yang berlaku jatuh hingga pohon itu menghasilkan yang pertama
setelah akad, sah pula untuk pohon yang berbuah secara berangsur sedikit demi
sedikit, seperti terong.
Menurut imam Malik, musaqah dibolehkan untuk semua pohon
yang memiliki akar kuat, seperti delima, tin, zaitun, dan pohon-pohon yang
serupa dengan itu dan dibolehkan pula untuk pohon-pohon yang berakar tidak
kuat, seperti semangka dalam keadaan pemilik tidak lagi memiliki kemampuan
untuk menggarapnya.
Menurut Imam Hambali musaqah diperbolehkan untuk pohon tadah hujan dan diperbolehkan pula untuk pohon-pohon yang perlu disiram. Adanya kebutuhan untuk melakukan akad musaqah, yaitu sebuah kondisi yang menggambarkan adanya pemilik kebun yang tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam mengelola serta merawat tanamannya atau tidak memiliki waktu untuk melakukannya. Pada sisi lain ada orang yang memiliki keahlian untuk mengelola dan merawat kebun serta memiliki waktu untuk melakukannya tetapi tidak memiliki kebun. Dalam kondisi itulah akad musaqah diperlukan.
Dalam rangka menyikapi perbedaan pendapat tersebut pada umumnya
ulama membolehkan akad musaqah, sebagaimana dijelaskan berikut oleh Wahbah al
Zuhaili dalam al-fiqh al-Islami wa Aditullah yang dikutip kembali oleh Jaih
Mubarok dan Hasanudin.
Dalam kitab al-mughni (5/384), Takmilat al- Fath (8/45) dan
Mughni al-Muhtaz (2/322) dijelaskan bahwa ulama Hanafiah pada umumnya berpegang
kepada pendapat Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani karena pendapatnya didukung
oleh dalil yang kuat yang berupa hadis fi’liyah, yakni perbuatan yang dilakukan
langsung oleh Rasulullah saw. Serta dipraktikkan pula oleh istri-istri beliau,
al Khulafu Rasyidun, penduduk Madinah dan ijma sahabat tentang bolehnya akad
musaqah.
Ibn Juzai al-Maliki, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Qawanin al-Fiqhiyah (279) dan Bidayat al-Mujtahid (2/322) karya Ibn Rusyd menjelaskan bahwa bolehnya akad musaqah karena eksistensinya merupakan pengecualian dari ketentuan yang terdapat dalam jual beli dan ijarah, yaitu:
- Akad musaqah merupakan pengecualian dari harus jelasnya ujrah dalam akad ijarah sehingga pendapat pengelola bersifat tidak jelas/pasti
- Akad musaqah merupakan pengecualian dari harus wujudnya harga dalam akad jual-beli sehingga pendapatan pengelola boleh bersifat tidak jelas/pasti.
Rukun dan Syarat Musaqah
Jumhur ulama menetapkan bahwa rukun musaqah ada 5 (lima), yaitu:
- Dua orang yang berakad (Al-Aqidani) dengan ketentuan Baligh dan Berakal.
- Ucapan Ijab Qabul (Sighat)
- Objek Musaqah, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa objek musaqah adalah tumbuh-tumbuhan, seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki akar yang tetap ditanah, seperti anggur, kurma yang berbuah, dan lain-lain.
- Buah, wajib menentukan hak bagian masing-masing (Antara Pemilik dan Penggarap).
- Masa kerja, hendaklah mengetahui lama waktu yang akan dikerjakan. yaitu jangka waktu panen dalam setahun atau jangka maksimal dalam memanen.
b. Syarat Musaqah
Adapun syarat musaqah adalah sebagai berikut:
- Hak dan Kewajiban dari pemilik kebun untuk memberikan bagi hasil kepada si penggarap.
- Tanaman yang diurus harus jelas jumlahnya dan letaknya.
- Pemelihara wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.
- Penggarap tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaan tersebut.
- Penggarap tanaman wajib mengganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.
Pembagian Hukum Musaqah
a. Hukum Musaqah Shahih
Menurut ulama Hanafiah mengemukakan tentang ketentuan hukum yang berlaku untuk Musaqah adalah sebagai berikut:
- Semua pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan pohon merupakan kewajiban penggarap, sedangkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh pohon, seperti biaya perawatan dan pemeliharaan menjadi tanggung jawab bersama antara pemilik dan penggarap.
- Apabila pohon tidak menghasilkan buah, maka kedua belah pihak tidak mendapatkan apa-apa.
- Akad Musaqah merupakan akad yang lazim atau mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu, masing-masing pihak tidak bisa menolak untuk melaksanakannya atau membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain, kecuali karena udzur.
- Pembagian Hasil Panen dilakukan dengan kesepakatan bersama.
- Dibolehkan menambahkan hasil (bagian) dari ketatapan yang telah disepakati.
- Penggarap tidak boleh memberikan Musaqah kepada orang lain,kecuali apabila diizinkan oleh pemilik pohon. Apabila ia melakukan penyimpangan, dengan memberikan garapan Musaqah kepada orang lain, maka buah yang dihasilkan untuk pemilik pohon, dan penggarap pertama tidak mendapat upah, sedangkan untuk penggarap kedua diberikan upah yang sepadan dengan pekerjaannya.
Menurut ulama Malikiyah pada dasarnya hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh ulama hanafiyah diperbolehkan. Namun dalam hal ini mereka
berpendapat mengenai penggarapan kebun dapat dibagi kedalam tiga bagian,
sebagai berikut:
- Sesuatu hal yang tidak ada kaitannya dengan buah-buahan. Dalam hal ini penggarap tidak terikat dengan akad dan tidak boleh dijadikan syarat.
- Pekerjaan yang berkaitan dengan buah-buahan dan ada bekasnya, seperti menggali sumur atau membangun gudang untuk menyimpan buah. Dalam hal ini penggarap tidak terikat dan tidak boleh dijadikan sebagai syarat.
- Pekerjaan yang berkaitan dengan buah tetapi tidak ada bekasnya, seperti menyiram tanaman atau pohon. Dalam hal ini penggarap terikat dengan akad dan boleh dijadikan syarat.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengenai penggarapan
perkebunan, bahwasannya mereka sepakat dengan Malikiyah dalam pembatasan pekerjaan
penggarap dan hak-haknya. Mereka mengatakan bahwa semua pekerjaan yang
manfaatnya untuk buah atau yang rutin setiap tahun seperti menyirami pohon dan
membersihkan saluran air merupakan kewajiban penggarap. Sedangkan pekerjaan
yang tidak rutin dan manfaatnya untuk tanah, seperti membuat saluran air, atau
pagar, merupakan kewajiban pemilik kebun.
b. Hukum Musaqah Fasid (Rusak)
Ada beberapa hal yang menyebabkan musaqah menjadi fasid
(rusak), alasan utamanya karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh hukum syara'. Menurut Ulama Hanafiah, penyebab musaqah menjadi
fasid (rusak) adalah sebagai berikut:
- Terdapat syarat yang mengharuskan bahwa hasil yang diperoleh sepenuhnya menjadi hak salah satu pihak. Dalam konteks ini, arti dari syirkah menjadi hilang.
- Terdapat ketentuan bahwa sebagian dari hasil yang diperoleh akan dialokasikan untuk salah satu pihak.
- Ketentuan pemilik kebun harus ikut dalam penggarapan.
- Adanya syarat bahwa pemetikan hasil menjadi tanggung jawab penggarap disebabkan oleh kewajiban penggarap untuk memelihara tanaman hingga saat panen. Setelah hasil panen, tanggung jawab tersebut beralih kepada kedua belah pihak.
- Adapun syarat bahwa pemeliharaan setelah pembagian hasil menjadi kewajiban penggarap, karena itu bukan garapan musaqah.
- Adanya ketentuan bahwa penggarap harus tetap bekerja setelah selesainya masa perjanjian musaqah.
- Adanya kesepakatan mengenai waktu yang menurut kebiasaan tidak memungkinkan buah untuk berhasil di panen dalam periode tersebut, karena akan merugikan penggarap dan tidak akan tercapainya tujuan akad Musaqah.
- Musaqah dikelola oleh banyak orang, sehingga penggarap tersebut membagi hasilnya kepada penggarap lainnya.
Dampak dari musaqah fasid (rusak) menurut ulama Malikiyah dapat dilihat dari dua kondisi. Jika musaqah tersebut rusak sebelum penggarapan upah tidak diberikan, Sebaliknya, jika musaqah mengalami kerusakan setelah penggarap mulai bekerja atau di tengah prosesnya, maka penggarap berhak menerima upah atas pekerjaannya, terlepas dari jumlahnya, baik sedikit maupun banyak.
Berakhirnya Akad Musaqah
Akad musaqah berakhir karena hal-hal berikut ini, yaitu:- Meninggalnya salah satu pihak, baik pemilik maupun penggarap. Apabila pemilik yang meninggal maka penggarap harus meneruskan pekerjaannya, walaupun ahli waris pemilik pohon tidak menyukainya. Apabila penggarap yang meninggal dunia maka ahli warisnya berkewajiban mengurus buah tersebut sampai keluar hasilnya, walaupun pemilik pohon tidak menyukainya.
- Akadnya batal disebabkan iqalah (pernyataan batal) secara jelas atau karena uzur.
- Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri transaksi dengan kerelaan.
- Pekerja melarikan diri. Dalam situasi seperti ini, pemilik tanah berhak untuk membatalkan transaksi, berdasarkan pendapat yang mengklasifikasikannya sebagai transaksi yang tidak mengikat. Namun, jika transaksi tersebut dikategorikan sebagai yang mengikat, maka seorang hakim dapat menunjuk orang lain untuk mengambil alih pekerjaan tersebut.
Referensi
Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif Griya Arga
Permai, 2009) cet.ke-1, hlm 301
Dr. H. Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007) cet. ke2, Hlm. 282
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), cet. ke-1
Hlm 155-156
Posting Komentar