Ikrah (Paksaan) dalam Perspektif Islam

Daftar Isi

Di zaman sekarang, paksaan (Ikrah) sering dilakukan seseorang untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan dari orang lain. Secara sederhana ikrah berarti memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan yang tidak ia senangi atau sukai. Biasanya pemaksaan (ikrah) dilakukan dengan disertai dengan ancaman seperti pembunuhan, perampasan harta benda dan penjatuhan vonis penjara dari seorang hakim.

Di negara demokrasi, setiap orang memiliki kebebasan berpendapat  dan tidak boleh dipaksa melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, terkadang ada situasi di mana seseorang tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti suatu perintah karena adanya ancaman atau tekanan.

Dalam Islam, ikrah atau paksaan adalah keadaan darurat yang membuat seseorang melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ia sukai. Hukum Islam memberikan pengecualian dalam situasi seperti ini. Jika seseorang dipaksa melakukan sesuatu yang terlarang, misalnya karena ancaman atau bahaya bagi dirinya, maka ia tidak akan dihukum atau berdosa, asalkan dalam hatinya ia tetap meyakini bahwa perbuatan tersebut salah.

Paksaan bisa datang dalam berbagai bentuk, seperti ancaman dibunuh, disiksa, dipenjara, atau hartanya diambil/dirusak. Tidak peduli siapa yang memaksa apakah itu seorang hakim, pencuri, atau orang lain selama seseorang dipaksa dalam keadaan yang mengancam nyawanya atau menyebabkan bahaya besar, maka Islam memberikan keringanan.

Sebagai contoh, jika seseorang dipaksa mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya, ia boleh melakukannya demi keselamatannya, asalkan hatinya tetap berpegang pada keimanan yang benar. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah swt  dalam menjaga kehidupan manusia dan melindungi mereka dari tekanan yang tidak dapat dihindari.

Pengertian Ikrah

Ikrah secara etimologis yaitu menyuruh orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang ia tidak inginkan baik secara tabiat maupun syariat. Adapun secara terminologis ikrah adalah menyuruh orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang disertai dengan ancaman, baik ancaman fisik seperti membunuh, memukul atau ancaman terhadap harta, maupun ancaman terhadap psikis (kejiwaan).

Berikut beberapa pendapat ulama mengenai pengertian ikrah (paksaan), yaitu:

1. Pendapat Imam Jurjany

Menurut Imam Al-Jurjani dalam kitab At-Ta‘rifat, "Ikrah adalah memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan dengan ancaman yang dapat membahayakan dirinya, baik berupa ancaman terhadap nyawa, tubuh, atau harta."

Dengan kata lain, ikrah adalah paksaan yang menyebabkan seseorang kehilangan kebebasannya dalam mengambil keputusan. Jika seseorang berada dalam kondisi ini, maka hukum Islam memberikan keringanan (rukhsah) agar ia tidak dianggap berdosa atau bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan di bawah paksaan.

Artinya, seseorang yang dipaksa melakukan sesuatu karena adanya ancaman serius tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya dalam Islam.

2. Pendapat Syekh Said Sabiq

Menurut As-Syekh As-Said Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah, ikrah (الإكراه) didefinisikan sebagai: “Memaksa seseorang untuk melakukan suatu perintah yang tidak diinginkannya, baik secara akal sehat maupun secara syariat (syara’), dengan ancaman yang dapat membahayakan dirinya.”

Artinya, seseorang yang berada dalam keadaan ikrah diberikan keringanan hukum karena ia tidak bertindak atas kehendaknya sendiri. Hukum Islam mengakui bahwa dalam kondisi tertentu, seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang dalam keadaan normal, asalkan dilakukan untuk menghindari bahaya yang mengancam jiwa dan raga.

3. Pendapat Ibn Hajar al-asqalani

Di dalam Kitab Fath al-Bari, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa ikrah adalah kondisi di mana seseorang diperintah atau dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya, namun diizinkan dalam Islam karena terjadi dalam keadaan darurat.

Artinya, dalam keadaan ikrah, seseorang yang dipaksa untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama, tidak berdosa jika terpaksa melakukannya demi menghindari bahaya yang tidak diinginkan, seperti ancaman pembunuhan atau penyiksaan.

Dasar Hukum Ikrah


1. Al-Qur'an

Dalam QS. An-Nahl ayat 106 Allah Swt Berfirman:


Artinya:

Siapa yang kufur kepada Allah setelah beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa (mengucapkan kalimat kekufuran), sedangkan hatinya tetap tenang dengan keimanannya (dia tidak berdosa). Akan tetapi, siapa yang berlapang dada untuk (menerima) kekufuran, niscaya kemurkaan Allah menimpanya dan bagi mereka ada azab yang besar.

Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang menimpa Ammar bin Yasir, seorang sahabat Nabi ﷺ yang dipaksa oleh kaum Quraisy untuk mengingkari keimanannya. Ammar akhirnya terpaksa mengikuti perintah mereka dengan mengucapkan kata-kata kufur, tetapi hatinya tetap teguh dalam Islam. Setelah itu, ia datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan sedih. Nabi ﷺ pun menenangkannya dan berkata: "Jika mereka memaksamu lagi, maka ulangilah (ucapan itu)" (HR. Ibnu Sa'ad). 

Dari peristiwa ini, Allah menurunkan ayat yang menjelaskan bahwa seseorang yang dipaksa untuk mengingkari Islam, tetapi hatinya tetap beriman, tidak berdosa.

2. Hadist

Hadis Rasulullah ﷺ yang berbunyi,  

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

"Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka lakukan karena dipaksa" (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Hadist ini menunjukkan betapa besar Rahmat Allah SWT dalam memberikan keringanan kepada hamba-Nya. Dalam Islam, seseorang yang melakukan suatu perbuatan karena kesalahan, kelupaan, atau paksaan tidak dihukum atas perbuatannya, karena hal tersebut terjadi di luar kehendaknya.

Kesalahan (al-khatha’) merujuk pada perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja, seperti seseorang yang tanpa niat melanggar hukum syariat atau melakukan sesuatu tanpa mengetahui konsekuensinya. Contohnya adalah seseorang yang membunuh tanpa sengaja, yang dalam Islam tetap diwajibkan membayar diyat (tebusan), tetapi tidak dikenakan hukuman qisas.

Selain itu, kelupaan (an-nisyan) juga termasuk dalam kategori yang mendapat dispensasi dari Allah. Jika seseorang lupa menjalankan suatu kewajiban syariat, seperti lupa shalat, maka ia tidak berdosa tetapi tetap diwajibkan menggantinya dengan qadha’. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.

Sedangkan paksaan (Ikrah) mengacu pada kondisi di mana seseorang dipaksa melakukan sesuatu di bawah tekanan atau ancaman, baik terhadap nyawa, harta, maupun kehormatannya. Dalam situasi ini, Islam memberikan keringanan, seperti dalam kasus seseorang yang dipaksa mengucapkan kekufuran di bawah ancaman pembunuhan. Selama hatinya tetap teguh dalam keimanan, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang keluar dari Islam, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nahl ayat 106.

Para ulama seperti Imam An-Nawawi dan Ibnu Taimiyah menafsirkan hadis ini sebagai bukti bahwa Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan keadilan. Meskipun seseorang dibebaskan dari dosa akibat kesalahan, kelupaan, atau paksaan, tetap ada tanggung jawab tertentu jika tindakan tersebut berdampak pada orang lain. Contohnya dalam hukum muamalah, jika seseorang menjual barang karena paksaan, akad tersebut bisa dianggap tidak sah.

Kesimpulannya, hadis ini menegaskan bahwa dalam Islam, setiap perbuatan dinilai berdasarkan niat dan kesengajaan seseorang. Jika suatu tindakan terjadi di luar kehendak, maka Allah Maha Pengampun dan tidak membebankan dosa kepada pelakunya.

Rukun, Syarat dan Macam-Macam Ikrah

a. Rukun Ikrah (Paksaan)

Adapun Rukun terjadinya ikrah yaitu, sebagai berikut:

  1. Adanya mukrih (orang yang memaksa)
  2. Adanya mustaqrih (orang yang dipaksa)
  3. Adanya ancaman
  4. Ada pekerjaan yang dipaksakan

b. Syarat Ikrah (Paksaan)

Ikrah (Paksaan) merupakan salah satu diantara sebab seseorang mendapatkan keringanan dalam hukum islam. Ada beberapa hal yang menjadi tolak ukur mengapa ikrah (paksaan) mendapatkan keringanan dalam hukum islam,  As-Suyûthi menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:

  1. Pelaku mampu merealisasikan apa yang diancamkannya, sedangkan orang yang dipaksa tidak mampu menolaknya walaupun dengan cara melarikan diri.
  2. Adanya dugaan kuat dari orang yang dipaksa bahwa jika dia menolak maka orang yang memaksa pasti membahayakan dirinya.
  3. Sesuatu yang diancamkan kepada orang yang dipaksa akan terjadi pada saat itu juga, seandainya yang memaksa berkata: “Bila kamu tidak melakukan hal ini maka aku akan memukulmu besok hari,” maka hal itu tidak dianggap sebagai Ikrah.
  4. Paksaannya telah ditentukan. Ketika ada seseorang yang memaksa dengan mengatakan: “bunuh lah Zaid atau Amar”. Hal ini tidak termasuk kategori paksaan.
  5. Paksaan bukan pada tempatnya (bukan pada yang hak). Apabila paksaan pada tempatnya maka hal ini tidak termasuk Ikrah. Seperti penagih hutang yang memaksa orang yang berhutang untuk membayar hutangnya, paksaan penebusan tanah untuk kepentingan umum seperti pelebaran jalan atau perluasan masjid.

c. Macam-macam Ikrah (Paksaan)

Menurut mazhab syafi’iyah ikrah hanya ada satu macam, yaitu memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau berkata sesuatu. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menakut-nakuti dengan sesuatu yang mengerikan, seperti dipukul, dipenjara atau dirampas hartanya.

Menurut mazhab malikiyah ikrah terdiri dari dua macam:

  1. Ikrah al-muji atau tam, yaitu pekerjaan yang tidak terdapat unsur keridhaan serta hilang pula hak untuk memilih di dalamnya. Pekerjaan ini terpaksa dilakukan karena adanya ancaman yang dapat membahayakan jiwa atau salah satu anggota badannya, dan lain-lain.
  2. Ikrah ghairu mulji atau naqis, yaitu suatu pekerjaan yang didalamnya tidak terdapat unsur keridhaan, namun hak memilih didalamnya tidak hilang. Ancaman kategori ini tidak membahayakan jiwa atau salah satu anggota badan, seperti ancaman dipenjara, dirantai dan lain-lain.

Hukum Orang yang di Paksa

Berikut ini merupakan beberapa objek pemaksaan yang sering dilakukan, yaitu:

1. Dipaksa membunuh sesama muslim

Didalam Al-Qur'an  surah Al-isra' 17:33 Allah SWT berfirman:

Artinya:

Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Siapa yang dibunuh secara teraniaya, sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya. Akan tetapi, janganlah dia (walinya itu) melampaui batas dalam pembunuhan (qisas). Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Ketika seseorang dipaksa untuk membunuh saudara sesama muslim. Maka paksaan tersebut tidak boleh dilakukan, sekalipun dia diancam untuk dibunuh jika seandainya dia tak melakukannya. Dalam hal ini kesabarannya menanggung beban sangat diutamakan. Karena kehilangan nyawanya lebih ringan mudharatnya daripada membunuh orang lain.

Ulama Fiqih sepakat bahwa jika seseorang dipaksa untuk membunuh, maka ia berdosa atas pembunuhan. Tetapi para ulama berbeda pandangan dalam menetapkan hukum qishash (pembunuhan) jika Ikrah nya tam (sempurna).

Imam Abu Hanifah, Muhammad Hasan al-Syaibani, Daud az-Zahiri, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam al-Syafi’i dalam salah satu riwayatnya, menyatakan bahwa orang yang dipaksa tidak dikenakan qishash. Yang dikenakan hukuman qishash adalah orang yang memaksa, sedangkan orang yang dipaksa dikenakan hukuman ta’zir (hukuman yang penentuannya didelegasikan syara’ kepada hakim). Alasan mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam lbnu Majah, At-Tabrani, dan al-Hakim.

Menurut Zufar bin Huzail bin Qais, ahli Fiqh Mazhab Hanafi dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa orang yang terpaksa dikenakan hukuman qishash, karena pembunuh sebenarnya adalah dia (pelaku), sedangkan orang yang memaksa hanyalah penyebab, dan untuk penyebab tidak dikenakan hukuman. Imam Abu Yusuf menyatakan baik orang yang terpaksa maupun yang memaksa tidak dikenakan hukuman qishash, karena dalam kasus seperti ini terjadi keraguan.

2. Dipaksa melakukan Perzinahan

Zina (الزنا )adalah hubungan badan antara pria dan wanita yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah menurut agama. Islam memandang perzinaan sebagai dosa besar yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat.

Berzina dapat diibaratkan seperti memakai barang yang bukan menjadi hak miliknya. Menurut Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatu al-Mujtahid, “Zina adalah setiap hubungan badan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (terhadap hamba).

Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi, zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut syariat Islam. Dalam kitabnya Minhajul Muslim, beliau menjelaskan bahwa zina termasuk dalam dosa besar yang dilarang oleh Allah SWT dan memiliki dampak buruk bagi individu maupun masyarakat.

Beliau juga mengutip dalil dari Al-Qur'an, di antaranya:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰٓى إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Artinya:

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra’: 32)

Dalam pandangan Abu Bakar Jabir al-Jazairi, zina merusak kehormatan, merusak keturunan, serta menimbulkan berbagai masalah sosial dan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu, Islam menetapkan hukuman tegas bagi pelaku zina sesuai dengan syariat.

Jumhur ulama berpendapat bahwa ketika seseorang dipaksa untuk melakukan zina, maka dia tidak boleh melaksanakan paksaan tersebut sekalipun dia diancam untuk dibunuh. Di antara dalil mereka adalah bahwa zina merupakan pembunuhan secara tersembunyi dan zina dapat merusak nasab (keturunan).

3. Dipaksa karena akan dibunuh atau pemotongan salah satu anggota tubuh

Ketika seseorang dipaksa untuk minum khamar, makan bangkai, makan babi atau mencuri dengan ancaman seandainya ia tidak melakukan hal tersebut maka akan dibunuh atau dipotong bagian tubuhnya. Dalam situasi ini ia wajib melakukan apa yang dipaksakan kepadanya, Karena menjaga supaya tetap hidup lebih diutamakan dari menjaga hal-hal yang diharamkan. Mereka dianggap seperti orang yang sedang kelaparan dengan bolehnya memakan bangkai.

Dalam Islam, ada prinsip dasar yang menyatakan bahwa menjaga nyawa lebih diutamakan daripada larangan-larangan tertentu. Oleh karena itu, jika seseorang berada dalam keadaan terpaksa seperti diancam akan dibunuh atau kehilangan anggota tubuhnya maka diperbolehkan baginya untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya haram, seperti meminum khamar, makan bangkai, makan daging babi, atau mencuri, asalkan perbuatan tersebut dilakukan hanya untuk mempertahankan hidupnya.

Hukum Islam memberikan keringanan (rukhsah) bagi orang yang berada dalam kondisi ikrah (paksaan). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an:

فَمَنِ ٱضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍۢ وَلَا عَادٍۢ فَلَآ إِثْمَ عَلَيْهِۚ

Artinya:

"Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan makanan haram) sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya." (QS. Al-Baqarah: 173)

Ayat ini menunjukkan bahwa dalam keadaan darurat, seseorang boleh melakukan sesuatu yang diharamkan, asalkan tidak dengan niat melanggar syariat dan tidak berlebihan. Sebagai contoh, seseorang yang kelaparan hingga terancam nyawanya diperbolehkan memakan bangkai, tetapi hanya sekadar untuk bertahan hidup, bukan untuk kesenangan.

Berikut hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam ikrah, yaitu sebagai berikut:

Dalam Islam, ikrah adalah paksaan yang membuat seseorang kehilangan kebebasan dalam memilih. Jika seseorang dipaksa melakukan sesuatu di bawah ancaman serius, maka Islam tidak membebankan dosa atau tanggung jawab hukum kepadanya.

Namun, hati harus tetap berpegang teguh pada kebenaran, seperti dalam kasus Ammar bin Yasir. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang penuh rahmat dan memberikan kemudahan bagi umatnya dalam situasi darurat.

Demikianlah Pembahasan mengenai Ikrah (paksaan), semoga bermanfaat dan menjadi tambahan ilmu bagi kita semua yang membaca artikel ini, Terima Kasih atas partisipasi & minat anda untuk membaca.


Referensi

Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, hal 377-378

Mahmudin, Ikrah (paksaan) dalam perspektif hukum islam (Al-Falah: Jurnal Ilmiah Keislaman dan Kemasyarakatan) hal. 134-142

As-Suyûthi, al-Asybâh wa Nazhâir, h. 208

Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al- Muqtashid, h. 324

Abû Bakar Jabir al-Jazairi, Minhâj al-Muslim, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turâts, 2004), h. 432

Baca Artikel Lainnya dengan Mengunjungi www.spechindo.com

Posting Komentar